Monday, April 1, 2019



TOGA SIMANULLANG  DALAM  SEJARAH

==================================


DINASTI SAGALA (SORIMANGARAJA)
Masa penguasaan atau kejayaan dinasti sorimangaraja dapat dipilah dalam beberapa dekade yaitu :

1. Sorimangaraja I-XC (1000 SM-1510M)
2. Sorimangaraja XC (1510). Dikudeta oleh orang-orang marga Simanullang
3. Raja Soambaton Sagala menjadi Sorimangaraja XCI
4. Sorimangaraja CI (ke-101) 1816 M dengan nama Syarif Sagala.

Dinasti ini berdiri di pusat tanah Batak, Sianjur Sagala Limbong Mulana (SSLM) sejak berabad-abad sebelum masehi dan kemudian berkembang di tanah Batak selatan atau Mandailing, Angkola dan Natal.

Pada fase 1000 SM – 1510 M, dari ibukotanya di SSLM, dinasti Sorimangaraja memerintah selama 90 generasi dalam sebuah bentuk kerajaan teokrasi, Rajanya bergelar Datu Nabolon.

Dinasti ini pernah mengalami guncangan politik dalam negeri yang hebat saat pihak komunitas Batak di Simalungun memisahkan diri pada tahun antara 600-1200 M dan mendirikan Kerajaan Nagur yang menjadi fondasi terhadap kesultanan Islam di tanah Batak perbatasan Aceh dan di Aceh sendiri.

Melihat luasnya cakupan kerajaan ini, kalangan komunitas Batak di tanah karo dusun, juga akhirnya memilih untuk memisahkan diri dan mendirikan kerajaan Haru Wampu. Pemisahan diri tersebut juga berakibat kepada pemisahan sistem sosial dan identitas.

DINASTI PASARIBU (HATORUSAN) 
Dinasti ini didirikan oleh Raja Uti putra Tateabulan. Bila Dinasti Sorimangaraja berakhir di tanah Batak bagian selatan (Tapsel), maka Dinasti Hatorusan ini berakhir di Barus, atau tanah Batak bagian barat.

Ibukotanya sendiri berada di kota-kota pesisir. Di antaranya Singkel, Fansul dan Barus. Raja Uti yang mendirikan kerajaannya di wilayah Limbong Sagala memerintahkan pemindahan kekuasaan ke wilayah fansur.

Sejarah regenerasi Raja Uti, mulai dari 1000 tahunan sebelum masehi sampai salah satu keturunanya yang bergelar Raja Uti VII di tahun 1500-an, tidak terdokumentasi dalam penanggalan yang jelas. Namun secara umum, dia memiliki beberapa keturunan, yang sempat diketahui namanya. Namun mungkin saja antara satu nama dengan nama yang lain berjarak puluhan sampai ratusan tahun. Karena kerajaan Hatorusan selalu hilang dan mucul kembali sesuai dengan percaturan politik.

1. Datu Pejel gelar Raja Uti II
2. Ratu Pejel III
3. Borsak Maruhum.
4. Raja Uti V bergelar Datu Alung Aji
5. Raja Uti VI yang bernama Longgam Parmunsaki.
6. Raja Uti VII bernama Datu Mambang Di Atas.

Selama pemerintahan Raja Uti VII, abad ke-16, pemerintahan kerajaan mulai goyah. Ekspansi kerajaan telah meluas sampai ke beberapa wilayah di Aceh. Raja Uti VII diceritakan memindahkan ibu kota kerajaan ke wilayahnya di bagian utara yang sekarang masuk kedalam pesisir Aceh.

Tidak diketahui secara pasti alasan pemindahan ibukota kerajaan. Namun diduga bahwa, telah ada sebuah gerakan oposisi yang bermaksud untuk mengkudeta Raja. Kekuatan pemberontak tersebut berasal dari pedalaman Batak. Kerajaan memang sudah mengalami kegoncangan setelah sebelumnya bebeberapa kerajaan kecil yang menjadi subordinat telah memilih memisahkan diri.

Raja Uti VII bernama Datu Mambang Di Atas, memerintah kerajaan Hatorusan di tanah Batak pesisir. Selama pemerintahan Raja Uti VII yang berkedudukan di Aceh (Singkil sekitarnya), berbagai pemberontakan dari dalam negeri meningkat.

Gerakan oposisi tersebut bermaksud untuk mengkudeta Raja. Kekuatan pemberontak terdapat di pedalaman Batak disebutkan dari marga Simanullang. Kerajaan memang sudah mengalami kegoncangan setelah sebelumnya beberapa kerajaan kecil yang menjadi subordinat telah memilih memisahkan diri, khususnya mereka yang di wilayah timur kerajaan (Sumatera Timur). 

SEJARAH SIMANULLANG DAN  KERAJAANNYA YANG BERUMUR PENDEK.
Simanullang adalah anak Si Raja Oloan yang ke-6 dari enam bersaudara, yaitu Naibaho, Sihotang, Bakara, Sinambela, Sihite dan Simanullang. 

Istri pertama dari Simanullang, boru pasaribu, sempat sangat lama tidak memiliki anak sehingga Simanullang meminta ijin kepada istri pertamanya, boru pasaribu, agar menikah kembali. Namun istri pertamanya tersebut ,boru pasaribu, tidak iklas dan merasa sangat terpukul serta selalu menangis, bersedih karena tersebut adalah sebuah aib (tihas) baginya.

Akhirnya setelah menyetujui dengan berat hati, boru pasaribu meminta syarat yaitu dia tidak akan mau satu rumah dengan istri kedua dari Simanullang (imbangnya). Pernikahan Simanullang yang kedua yaitu dengan boru Nainggolan, dan sesuai dengan permintaan istri pertamanya bahwa kedua istrinya (boru Pasaribu sebagai istri pertama dan boru Nainggolan sebagai istri kedua) tidak akan satu rumah, maka istri pertamanya, boru Pasaribu, tinggal di rumah lumban tungkup atau rumah yg agak tertutup, sementara istri keduanya, boru Nainggolan, tinggal dirumah yang beratapkan lalang (ri) atau yang sering disebut lumban ri

Pada tahun 1510, pemerintahan Sorimangaraja XC dikudeta oleh orang marga Simanullang. Informasi ini didapat dengan menganalisa legenda dan cerita rakyat di Kerajaan Dolok Silo di Simalungun yang menyebutkan bahwa Dinasti Sorimangaraja dikudeta oleh marga Simanullang hanya dua tahun paska kemenangan Sultan Aceh yang pertama dalam mengalahkan Raja Haru Wampu yang ke-14.

Dalam peristiwa tersebut, atas perintah Sultan Ali Mughayat Syah, Puanglima Manang Sukka (Seorang Batak Karo) merebut daerah Haru Wampu pada tahun 914 H atau 1508 M. Banyak kisah dan sejarah Batak yang sangat kaya tersebut tidak dilengkapi dengan tarikh dan penanggalan yang jelas. Namun karena kejadian-kejadian tersebut selalu berhubungan dengan kesultan dan kerajaan-kerajaan Aceh, yang sudah banyak tenaga ahlinya menuliskan sejarah yang bertanggal, maka sangat mudah untuk memastikan tahun-tahun kejadian di kerajaan Batak tersebut .
[http://togadebataraja.blogspot.com/2011/06/dinasti-sagala-sorimangaraja.html]

Setelah tiba waktunya, lahirlah anak pertama dari istri kedua, boru Nainggolan, yang diberi nama Napasang yang artinya telah naik (na pasang) kerajaan (harajaon) Simanullang setelah memberontak dan memisahkan/membebaskan diri (merdeka) dari kerajaan Sorimangaraja XC (Sorimangaraja ke-90). Kemudian lahirlah seorang putra dari istri pertamanya, boru pasaribu, sebagai anak kedua yang diberi nama Panguhalan  di mana arti nama tersebut mensyukuri bahwa istri pertamanya, boru pasaribu, pun telah mangukkal atau membangkitkan kembali kehormatan boru pasaribu serta telah mengangkat kembali derajatnya tidak lagi punya aib sebagai seorang istri yang tidak memiliki anak. Kemudian lahir lagi satu anak perempuan (boru) adik dari Panguhalan dan diberikan nama Pinta Haomasan. Lengkap sudah keturuan dari istri pertamanya, boru pasaribu, yaitu satu orang laki-laki (maranak) dan satu orang perempuan (marboru). Kegembiraan Raja Simanullang ternyata tidak cukup hanya sampai di situ, karena pada saat tiba waktunya, istri keduanya, boru Nainggolan, kembali melahirkan anak lak-laki sebagai anak bungsu dari Simanullang, yang diberi nama Dilimang yang artinya makin lengkap sudah bilang-bilang anak dari Raja Simanullang. [Konon, angka lengkap bagi falsafah suku Batak zaman dulu adalah angka ganjil, agar ada yang juru penengah jika ada 2 pihak (genap) yang berselisih ]

Pada zaman dahulu, ada orang-orang Batak yang yang mempunyai kemampuan di luar daya normal manusia awam (kemampuan supranatural/paranormal) dan disebut sebagai Datu. Dalam struktur masyarakat Batak tradisional, Datu mendapat posisi terhormat karena kompetensinya di bidang membaca dan menulis aksara Batak serta kemampuan lain seperti pengobatan, ilmu nujum, parhalaan (penanggalan) untuk membaca hari baik dan hari buruk.  

Seorang Datu tidak serba menguasai semua bidang-bidang perdukunan (hadatuon), tetapi biasanya terdapat satu keahlian khusus yang menonjol di bidangnya. misalnya Datu Partaoar, dengan ramuan-ramuannya lebih ahli di bidang obat penyembuh dan penawar racunDatu Pangatiha Pandang Torus mempunyai kemampuan sebagai peramal, dan Datu Panuju keahliannya untuk mengatur cuaca, seperti mendatangkan hujan atau menangkal hujan.

Datu umumnya pria, datu perempuan disebut Sibaso, yang dalam komunitas kampung (huta) lebih berperan sebagai dukun persalinan yang ahli di bidang kebidanan, penyakit wanita dan ramuan-ramuan obat tradisional (tambar)Sibaso perannya tidak sebesar Datu. Pada upacara ritual tertentu Sibaso (perempuan) berfungsi mendampingi Datu (pria) sebagai medium dalam ritual kesurupan roh.

Seseorang yang memiliki tingkatan keahlian di atas Datu disebut GuruGuru adalah gelar kehormatan yang diberikan masyarakatnya karena keunggulannya dan reputasinya yang diakui para datu lainnya. Bahkan datu dari huta lain meminta petunjuk atau berguru kepadanya, sehingga ia merupakan suhu atau mahaguru datu alias datunya Datu.

Tingkatan selanjutnya untuk  hadatuon yang tingkatannya lebih tinggi di atas Guru adalah Tuan.

Raja di kampung (huta) tanah Batak, di samping sebagai Raja, mereka umumnya memiliki sahala hadatuon atau kemampuan hebat seorang datu. Seorang Raja yang tidak hanya memegang posisi sebagai pemimpin tertinggi di kelompoknya tetapi juga disegani, dihormati dan diakui sebagai sesepuh oleh pemimpin kelompok lain di luar marga atau huta-nya.

Pada masanya, dalam kehidupannya baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam lingkungan masyarakat pada masa dinasti Simanullang, hal yang sama juga dicapai oleh ketiga anak dari Raja Simanullang, yaitu  Anak pertamanya, Napasang menjadi Raja Napasang,  yang juga memiliki sahala hadatuon, di samping memegang posisi sebagai pemimpin tertinggi di kelompoknya (marganya) dan juga disegani, dihormati dan diakui sebagai sesepuh oleh pemimpin kelompok lain diluar marganya dan hutanya.  Anak keduanya, Panguhalan menjadi Raja Panguhalan dan kemudian lebih dikenal dengan nama Pamuha Raja.  Sedangkan Anak ketiganya, Dilimang menjadi Tuan Dilimang.

Raja Napasang sebagai anak pertama dan sekaligus juga sebagai raja huta selalu memegang prinsip molo di jolo na gabe sipangihutan jala gabe Anak Partogi, molo di pudi na gabe Sipaimaon jala Anak na gabe Sipargonggom, molo di tongatonga Anak Siharungguan. paramak sohabalumon, partataring sora mintop, pardahanon sora suda, parsangkalan sora mahiang, sipanangkok na male, sipatuat na bosur, siparo tondi tu ruma silele, musu tu harangan.

Setelah kerajaan Raja Simanullang berakhir, maka tongkat kerajaan dan pedang kerajaan diberikan kepada anak paling sulung sebagai putra mahkota yaitu Raja Napasang. 

Gambar 1. Tugu patung Raja Napasang, yang saat ini berada di Bakkara, tampak memegang tongkat dan pedang kerajaan. 

Raja Panguhalan yang menjadi raja panise atau raja parhata atau raja adat maupun pemimpin dalam upacara keagamaan batak pada acara adat sehari-hari sehingga lebih di kenal dengan sebutan Pamuha Raja yang artinya pembuka acara adat (pamuhai) di lembah (rura) Bakkara. Pamuha Raja memegang tongkat kehormatan (hatuaon) sebagai pemimpin agama (ugamo) maupun acara acara adat yang lainya.

Gambar 2. Tugu patung Pamuha Raja, yang saat ini berada di Bakkara, tampak  memegang tongkat kehormatan (hatuaon) sebagai pemimpin ugamo dan raja adat .

Tuan Dilimang sebagai anak paling bungsu menjadi panglima besar (puanglima/puanglimang/tuandilimang). Puanglima sebagai pelindung bagi kerajaan di lembah Bakkara yang kerajaannya dipimpin oleh abang-abangnya yaitu Raja Napasang  sebagai Raja, dan Raja Panguhalan (Pamuha Raja) sebagai Pamuhai atau pemimpin agama (ugamo).

Gambar 3. Tugu patung Tuan Dilimang, yang saat ini berada di Bakkara. (Apakah ada peristiwa yang menghalagi atau memang direncanakan demikian sehingga monumen tersebut  dibangun dengan tidak ada memakai tugu patung Tuan Dilimang? seperti dua monumen abang-abangnya yang memakai patung Raja Napasang dan patung Pamuha Raja ) 


Ketiga posisi tiga anak tersebut dikukuhkan oleh Raja Simanullang melalui pembagian tempat tinggal yang didiami (mungkin hingga kini masih tetap terpelihara seperti kondisi zaman dulu).


Struktur perkampungan di lembah Bakkara terdiri dari Huta, Lumban, dan Sosor. Huta adalah wilayah tempat tinggal keluarga Batak tradisional. Pendiri huta disebut Sipungka huta atau Si suan bulu dan sekaligus menjadi Raja Huta. Lumban merupakan bagian kecil dari Huta serta Sosor adalah bagian paling kecil dari Huta dan di bawah Lumban.

Anak dari Raja Simanullang ada tiga orang, yaitu Raja Napasang, Pamuha Raja, dan Tuan Dilimang. Keturunan Raja Simanullang di Bakkara mendiami wilayah perkampungan sebagai berikut:
1. Raja Napasang sebagai anak tertua, mendiami Huta Bagasan di Desa Simangulampe dan Sosor Pasir di Desa Sinambela-Simanullang.
2. Pamuha Raja (Raja Panguhalan) sebagai anak kedua, mendiami Huta Simanullang (Pangaloan, Bangunan, Siandarasi, Sosor Batu) di Desa Sinambela-Simanullang dan di Lumban Suhi suhi di Desa Simangulampe.
3. Tuan Dilimang  sebagai anak paling bungsu, mendiami Lumban Holbung di Desa Simangulampe.

Dilihat dari struktur perkampungan lembah Bakkara di masa itu, mungkin masih belum banyak berubah hingga saat ini, anak sulung atau anak pertama mempunyai dan mendiami Huta serta menjadi Raja Huta, sedangkan adik-adiknya umumnya mempunyai dan bermukim di sebuah Lumban atau Sosor di bawah naungan Raja Huta yang mendiami Huta.

Tuan Dilimang, sebagai anak bungsu, mendiami Lumban yaitu Lumban Holbung dan dengan sendirinya tidak menjadi Raja Huta, karena Raja Huta di masa itu hanya ada di sebuah Huta, bukan di Lumban atau di Sosor dalam struktur kerajaan dinasti Simanullang masa itu.

MULAI BERDIRINYA DINASTI SISINGAMANGARAJA
Seiring dengan waktu berjalan, dari marga Sinambela lahirlah seorang bernama Manghuntal yang artinya bergetar, sesuai dengan tradisi Batak yang sering memberikan nama bayi dengan suatu arti. Dia kelak akan menjadi  Raja Manguntal  serta menjadi Sisingamaraja yang pertama ( Sisingamangaraja I ) yang diperkirakan hidup sekitar tahun 1500-an Masehi.

Ayahnya Manghuntal adalah Raja Bona Ni Onan dari marga Sinambela yang merupakan seorang intelektual lokal, Datu Sinambela, yang menguasai berbagai disiplin ilmu astronomi, hukum dan undang-undang adat dll, dan ibunya boru Pasaribu merupakan elit di kota tersebut. 
Keanehan terjadi ketika Boru Pasaribu mengandung Manghuntal. Tidak seperti normalnya bayi, bayinya belum lahir setelah dalam kandungan selama sembilan bulan. Suaminya kemudian menghubungi seorang Datu dan diketahui bahwa ada keajaiban pada jabang bayi, dan akan melahirkan setelah melebihi sembilan bulan. Sebelum kelahirannya, istri dari Raja Bona Ni Onan yaitu boru pasaribu sudah memperingatkan orang sekitarnya bahwa tidak lama lagi akan ada badai dan topan serta tanah akan bergoyang dan meminta agar penduduk sekitar lembah Bakkara tidak membuka pintu rumahnya dan jangan pergi ke lading.  Kemudian saat tiba harinya, sang bayi dilahirkan pada saat angin topan dan gempa bumi terjadi di huta tersebut. Dia kemudian dinamakan Manguntal atau yang bergetar karena proses kelahirannya yang persis saat badai dan gempa melanda Bakkara, sebuah kota di pedalaman Batak.

Pada saat masih di usia dini, Manghuntal telah banyak melakukan mujizat-mujizat di lembah Bakkara. Para raja Bius pun dan Raja di lembah Bakkara yang di pegang oleh Raja Napasang dalam dinasti Simanullang saat itu, juga merasa heran dan takjub atas keajaiban yang dibuatnya..

Setelah dewasa, Manghuntal berangkat untuk menemui  pamannya (Tulangnya) di Barus yaitu di dinasti Hatorusan (dinasti Pasaribu). Manghuntal kemudian dibesarkan di istana Raja Uti VII yang merupakan paman dari Manghuntal sendiri. Raja Uti VII adalah saudara laki-laki dari boru Pasaribu, ibunya Manghuntal. [http://humbahas.blogspot.com/2006/08/dinasti-dinasti-batak.html]

Pamannya (Tulangnya), yang merupakan Raja di dinasti Hatorusan, pun sudah mengetahui bahwa Manghuntal memiliki kesaktian luar biasa sehingga Raja dinasti Hatorusan tersebut mengujinya dan meminta gajah putih kepadanya. Manghuntal berhasil memenuhi permintaan tersebut dan membawa gajah itu kepada pamannya (Tulangnya). Karena sudah terbukti sakti luar biasa, akhirnya Raja dinasti Hatorusan pun memberikannya simbol kerajaan (tongkat siringgis dan piso solam debata) serta mendidik Manghuntal di istana kerajaan dinasti Hatorusan sampai berhasil menjadi Panglima yang menguasai matra Angkatan Darat dan Laut.

Ketika Portugis pertama sekali menyerang daerah Dinasti Hatorusan, Panglima Mahkuta (Manghuntal) memimpin bala tentaranya dan memenangkan peperangan tersebut. Selain mendapat serangan dari pihak luar, kerajaan Hatorusan juga mendapat pemberontakan dan gerakan oposisi di dalam negeri.

Gerakan oposisi tersebut bermaksud untuk mengkudeta Raja dinasti Hatorusan. Kekuatan pemberontak terdapat di pedalaman Batak disebutkan dari marga Simanullang. Kerajaan memang sudah mengalami kegoncangan setelah sebelumnya beberapa kerajaan kecil yang menjadi subordinat telah memilih memisahkan diri, khususnya mereka yang di wilayah timur kerajaan (Sumatera Timur). 

Manghuntal/Mahkuta kemudian diperintahkan untuk menumpas pemberontakan di sentral Batak tersebut. Dalam usahanya menumpas pemberontak, di ibukota kerajaan terjadi kudeta dan perebutan kekuasaan. Kerajaan terpecah dalam kerajaan-kerajaan kecil.

Manghuntal yang telah menerima pusaka pemberian pamannya (Tulangnya) dan sekaligus sebagai Panglima dinasti Hatorusan kembali ke lembah Bakkara dan menunjukkan kehebatan maupun kesaktiannya sehingga para orang tua dan ahli-ahli dukun (datu) maupun raja adat meminta kepada Raja Napasang sebagai pemimpin kerajaan (raja huta) untuk mengadakan sebuah acara margondang bolon untuk memastikan kesaktian yang dimiliki oleh Manghuntal. Akhirnya jadilah gondang itu dibuatkan dan semua orang melihat Manghuntal mempertontonkan kehebatannya. Kerajaan (Harajaon) dinasti Simanullang yang dipegang oleh Raja Napasang akhirnya terpaksa dikembalikan kepada dinasti Hatorusan melalui Manghuntal (sebagai Panglima dinasti Hatorusan) dengan diiringi dengan Gondang Sahala. Gondang Sahala hanya bisa dibunyikan pada saat pergantian Raja. 

Setelah mengambil alih kerajaan dinasti Simanullang dari Raja Napasang (anak pertama Simanullang) dan sesuai restu dari dinasti Hatorusan kepada Manghuntal, akhirnya Manghuntal resmi menjadi Raja Manghuntal. Raja Manghuntal mendirikan kerajaan baru menggantikan kerajaan dinasti Simanullang, sehingga kerajaan dinasti Simanullang hanya berumur pendek , 40 tahun saja  (1510 M ~ 1550 M). Raja Manghuntal kemudian lebih dikenal sebagai Sisingamangaraja I dan juga sekaligus menjadi awal berdirinya dinasti Sisingamangaraja dari marga Sinambela. 


Dengan mencermati tahun tarikh masa berkuasa, sebenarnya ada sekitar 10 tahun masa proses peralihan/pergolakan dari dinasti Simanullang (Raja Napasang) kepada dinasti Sinambela (Raja Manghuntal), yaitu periode antara tahun 1540 M ~ 1550 M. Di mana pada periode tersebut, beberapa sumber catatan sejarah menyebutkan bahwa dinasti Simanullang masih tetap berkuasa dan masih memegang kerajaan sampai tahun 1550 M, sedangkan dinasti Sinambela dengan restu dari dinasti Hatorusan, juga telah mulai berkuasa pada periode yang sama sejak 1540 M.


Manghuntal mulai menata kembali kehidupan masyarakat. Untuk mengakomodasi berbagai kepentingan dan pertikaian antar kelompok masyarakat, dia berkoalisi dengan dengan tetua di Bakkara. Mereka, yang menjadi perwakilan tersebut diangkat sebagai anggota kabinet di pemerintahan, adalah dari marga si Onom Ompu; Kelompok Bakkara, Sihite, Simanullang, Sinambela, Simamora dan Marbun. Masing-masing keluarga ini didelegasikan beberapa wewenang. Setiap mereka diberi simbol kerajaan berupa barang pusaka yang didapat Manghuntal dari Kerajaan Hatorusan (Raja Uti VII).

Di samping itu, dia juga melakukan distribusi kerja yang jelas kepada para pembantunya; di antaranya lembaga Pande Na Bolon yang bertugas sebagai penasehat dan juga sebagai fasilitator antar daerah di dalam kerajaan. Jabatan bendahara kerajaan diberikan kepada marga Sihite. Untuk mengikat semua daerah kekuasaan dalam satu kesatuan yang utuh, dia melakukan berbagai pendekatan antara lain secara spiritual dengan membawa air dan tanah dari Bakkara. Target pertamanya adalah dengan merangkul Humbang.

Humbang merupakan daerah paling Barat kerajaan yang berpopulasi keturunan raja Sumba, sama dengan Manghuntal. Mereka itu berasal dari marga Sihombing dan Simamora. Di sana dia mengangkat dua perwakilannya; dalam institusi Raja Parbaringin, yaitu dari marga Simamora dan Hutasoit (Putra sulung Sihombing).

Dari Humbang dia pergi ke Silindung. Dia mengangkat raja na opat untuk daerah ini. Perbedaan institusi perwakilannya tersebut berdasarkan pertimbangan-pertimbangn geografis dan politik saat itu. Hal yang sama dia melakukannya untuk daerah-daerah yang lain. Satu instusi lainnya adalah panglima wilayah. Sebuah daerah yang damai atau homogen akan berbeda dengan huta yang plural. Begitu juga daerah yang berbatasan langsung dengan luar kerajaan dengan yang berada di pusat kerajaan mendapat perwakilan yang berbeda.

Insting kepemimpinan yang dia warisi selama masih dididik di istana Raja Uti membuatnya memahami betul langkah-langkah politik yang sesuai dengan karakter sebuah huta. Sikap ini dengan cepat dapat menyatukan masyarakat Batak yang berbeda-beda marga dan kepentingan hutanya. Egoisme, primordialisme huta dan fanatisme marga serta kebiasaan bertengkar orang-orang Batak ditundukkan dengan harmoni dan kebersamaan. 

Dinasti Hatorusan berdiri selama hampir 300 tahun sejak awal abad ke-13 M sampai dengan awal abad ke-16 M dipimpin oleh raja turun-temurun yang bergelar Raja Hatorusan I-VII. Raja Pertama, Uti Mutiaraja, berasal dari keturunan Guru Tatea Bulan, Pusuk Buhit. Dinasti ini berupaya menata kembali dan meneruskan tradisi kerajaan dan kejayaan Dinasti Sori Mangaraja.  Ibukota Kerajaan di Barus dan kemudian bergeser ke pedalaman di perbatasan wilayah Aceh. Kamper dan kemenyaan tetap sebagai sumber penghasilan kerajaan yang diperdagangkan di pelabuhan Pansur, Barus.  Dinasti ini menyerahkan tampuk kuasa kerajaan ke Dinasti Sisingamangaraja dari Negeri Bakkara 

Orang-orang marga Simanullang sempat berkuasa di tanah Batak pada tahun 1510-1550 M, Namun akhirnya kekuasaan mereka redup dan digantikan oleh Dinasti Sisingamangaraja. Kekuasaan orang-orang marga Simanullang direbut oleh seorang Datu marga Sinambela. 

Setelah selama 10 tahun (1540 M ~ 1550 M) Raja Manghuntal (dinasti Sinambela) benar-benar bisa berhasil mengambil alih kerajaan dari Raja Napasang (dinasti Simanullang), maka selanjutnya pada tahun 1550 M, Raja Manghuntal melepas posisi raja dan menyerahkan kepada anak pertamanya sebagai putra mahkota, yaitu kepada Manjolong atau Datu Tinaruan dan menjadi bergelar Raja Manjolong atau ompu Raja Tinaruan atau  Sisingamangaraja II. 

Kemudian setelah menyerahkan tampuk kerajaan kepada Raja Manjolong, Raja Manghuntal meninggalkan lembah Bakkara untuk berkelana ke daerah lain.


Berikut adalah para Raja dinasti Sisingamangaraja I sampai dengan Sisingamangaraja XII :
1. Raja Sisingamangaraja I dengan nama asli Raja Mahkota atau Raja Manghuntal memerintah tahun 1540 s.d. 1550
2. SM Raja II, Raja Manjolong gelar Datu Tinaruan atau Ompu Raja Tinaruan memerintah 1550 s.d 1595
3. SM Raja III, Raja Itubungna, 1595-1627
4. SM Raja IV, Tuan Sorimangaraja 1627-1667
5. SM Raja V, Raja Pallongos, 1667-1730
6. SM Raja VI, Raja Pangolbuk, 1730-1751
7. SM Raja VII, Ompu Tuan Lumbut, 1751-1771
8. SM Raja VIII, Ompu Sotaronggal, gelar Raja Bukit 1771-1788
9. SM Raja IX, Ompu Sohalompoan, Gelar Datu Muara Labu, 1788-1819
10. SM Raja X, Aman Julangga, Gelar Ompu Tuan Na Bolon, 1819-1841
11. SM Raja XI, Ompu Sohahuaon, 1841-1871
12. SM Raja XII, Patuan Bosar, gelar Ompu Pulo Batu, 1871-1907
http://humbahas.blogspot.com/2006/08/dinasti-dinasti-batak.html    

Dinasti Sisingamangaraja berdiri selama kurang lebih 400 tahun,  sejak tahun 1500-an sampai dengan 1907. Pusat pemerintahan di Negeri Bakara, di bawah kepemimpinan Raja Sisingamangaraja I – XII.   Kerajaan ini bersama rakyatnya menghadapi peperangan selama 30 tahun dengan Belanda yang berusaha menaklukkan Tanah Batak.   Dinasti berakhir dengan gugurnya Sisingamangaraja XII, Ompu Patuan Bosar  Sinambela (Ompu Pulo Batu) sebagai Sisingamangaraja terakhir, pada pertempuran heroik di Si Onom Hudon tahun 1907.

Anak dari Raja Napasang ada dua orang yaitu Datu mahuring dan Gende Raja. Penyerahan/pengambilalihan kembali kerajaan dari Raja Napasang (hasil perjuangan pemberontakan Simanullang ke dinasti Sorimangaraja ke-90) kepada dinasti Hatorusan, dalam hal ini kepada Raja Manghuntal sebagai panglima dinasti Hatorusan, membuat anak pertama dari Raja Napasang sebagai putra makhota yaitu Datu Mahuring tidak bisa menerima kenyataan tersebut, sehingga Datu mahuring meminta kepada ayahnya, Raja Napasang,  agar memberinya ijin untuk berangkat mamukka huta harajaon yang  baru, karena dia tidak mau tunduk dengan kerajaan yang di pimpin oleh Raja Manghuntal dari garis keturunan Sinambela.

Datu Mahuring pergi mendirikan kerajaan atau huta harajaonna yang baru di Matiti.

Berhasilkah Datu Mahuring mengembangkan huta harajaonnya di Matiti ?



5 comments:

  1. Catatan sejarah modern tentang Simanullang dari berbagai sumber jauh berbeda dengan wangsit kesurupan seorang datu penempa besi abad 20, penempa besi yang punya kerja sambilan sebagai datu utk nambah-nambah penghasilan....biasalah datu abad 20 kyk yang namasa-masa nueang, tidak punya wawasan tapi ceritanya selangit dan kayak punya ilmu setinggi langit padahal ngibul, yang penting dapat bayaran :)

    ReplyDelete
  2. Percaya cerita yang kesurupan atau percaya catatan sejarah dengan bukti-bukti real? :)

    Kalau otak sudah kerasukan, pasti percaya kepada ucapan yang kesurupan...percuma sudah punya iman agama samawi tapi masih pakai rujukan hasil yang kesurupan :-(

    ReplyDelete
  3. AU doho hodo AU dang adong Mangalo dos ni roha

    ReplyDelete